Kearoganan Dibalik Konflik Nasab Habaib

Konflik habaib yang terjadi di Indonesia dewasa ini bukannya semakin menemui titik terang, melainkan justru semakin runyam. Kedua pihak baik dari pihak Imaduddin dan pihak Bahar Smith sama-sama keras kepala. Imaduddin merasa bahwa kebenaran dalam tesisnya adalah final seakan tidak boleh ada anti-tesis yang lain, begitupun pihak segelintir habaib yang merasa tersinggung diwakili oleh Bahar Smith merasa bahwa Habaib lebih mulia dari orang lain meskipun itu alim.

Pada awal munculnya konflik nasab habaib ini saya tidak begitu peduli, saya merasa untungnya apa sih memperdebatkan nasab yang notabene akan mengarah ke kesombongan, kecongkakan, dan merasa paling benar serta mulia. Terlalu terbuai dengan gelar habib pun tidak ada untungnya, hanya akan menjadikan kita segerombolan manusia-manusia baik yang palsu, karena kita mungkin saja akan menghormatinya melebihi siapapun atas gelar kehabibannya dan melupakan bahwa siapapun orangnya, apapun sukunya, apapun agamanya, dan apapun nasabnya asalkan ia berbuat baik, maka wajib untuk dihormati.

Menjadi penolak eksistensi nasab habaib pun sama tidak ada untungnya, karena kita akan lupa bahwa tidak semua habib itu pembohong dan pendusta. Sekali lagi itu hanya oknum. Lantas apakah Imaduddin salah dalam hal ini? Jujur saja awal mula dia mendeklarasikan tesisnya tentang habaib-habaib jalur Ba’alawy yang ada di Indonesia itu terputus, saya sempat merasa simpatik karena keberaniannya dalam menggugurkan status quo yang menjangkiti masyarakat Indonesia pada umumnya yang tidak jarang juga muncul sebuah konflik dari berbagai pihak lantaran mereka merasa idolanya didiskriminasi ataupun direndahkan.

Namun, setelah polemik ini berjalan panjang dan seakan seperti bola liar ini, sikap Imaduddin mulai keluar dari jalurnya sebagai seorang akademisi. Ia merasa bahwa kesimpulan dari tesisnya adalah keputusan final sehingga tidak membutuhkan antitesis dari pihak lain. Yah, jika antitesis itu tidak ilmiah sah-sah saja untuk ditolak. Sikap Imaduddin yang seakan menutup telinga dan terkesan otoritatif ini dapat dilihat ketika muncul tanggapan ilmiah dari Rumail Abbas, salah seorang intelektual muda NU. Akan Tetapi Imaduddin enggan untuk datang lantaran merasa “tak selevel”. Sikap yang sangat disayangkan untuk seorang dengan takaran akademisi.

Seharusnya sejak awal Imaduddin sudah mampu memperhitungkan akan gejolak sosial yang akan muncul dari tesisnya itu, sehingga ia harus benar-benar berhati-hati dalam menyampaikan dan membuang jauh-jauh sikap arogan, merasa keputusannya sudah final, dan merasa lebih otoritatif. Karena, bagaimanapun keadaannya dalam dunia penelitian tidak ada sebuah keputusan yang final. Jadi mau tidak mau Imaduddin harus siap menerima antitesis dari berbagai pihak dan mampu bersikap bijak serta sportif.

Mungkin keadaan akan baik-baik saja dan tidak akan memunculkan kegaduhan dalam masyarakat, andai Imaduddin mampu bijak dalam menyampaikan argumennya dengan kepala dingin serta tesisnya tentang terputusnya nasab habib ke Rasulullah itu disampaikan dengan penuh kebijakan. Akan Tetapi tidak, terlebih muncul pula Fuad Plered dengan konten Youtubenya yang provokatif. Ia bersama rekannya yang bernama Faqih Wira Hadiningrat menganggap bahwa eksistensi nasab Ba’alawy di Yaman itu bohong dan palsu. Yah, terserah merekalah, karena beropini itu sah-sah saja, namun jika beropini dengan penuh kearoganan, ujaran kebencian, ataupun provokatif, maka ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Sekali lagi, tesis Imaduddin tidak salah yang salah adalah sikapnya yang arogan dan saya rasa Fuad Plered seharusnya dalam masalah ini tidak perlulah ikut campur ataupun beropini dengan corak provokatornya. Selanjutnya, perlu digaris bawahi bahwa kegaduhan Ini bukan sepenuhnya salah Imaduddin ataupun Fuad Plered, melainkan segelintir oknum habaib yang sombong, takabur, arogan, merasa paling mulia ini juga perlu diperhatikan. Karena bagaimanapun keadaannya urusan nasab tidak ada gunanya jika hanya melahirkan sikap arogansi.

Segelintir habaib di Indonesia dengan ilmu yang mungkin masih abal-abal, namun dipenuhi dengan sikap arogansi memang benar-benar ada di Negeri ini. Seperti kata Muhammad Quraish Shihab: “Mereka yang punya gelar Sayyid dan dipanggil habib harus tahu diri, bahwa mereka hidup di Indonesia sebagai tamu”. Artinya habaib-habaib harus benar-benar menghormati tuan rumah, cinta tanah air, dan cinta ulil amri. Bukan malah sebaliknya, seperti Bahar bin Smith yang sering sekali menghujat, merasa paling mulia, dan paling alim.

Itupun belum termasuk, habib-habib yang ilmunya masih dangkal namun kesombongannya laksana Rahwana dan mungkin menjadikan gelar kehabibannya sebagai akomodasi. Patutkah saya berkata demikian? Ya. Kenapa tidak? Habib-habib yang saya sebutkan diatas memang benar-benar ada dan merekalah yang berpotensi memunculkan konflik antar masyarakat. Artinya adai para habaib yang arogan itu mau mendengarkan apa yang disampaikan oleh Quraish Shihab dan tidak menjadikan gelar sakralnya untuk kesalahan, maka mungkin saja tidak muncul tesis Imaduddin dan konten profokativ Fuad Plered,

Sampai sini, perlu ditekankan, bahwa kegaduhan dalam masyarakat tentang nasab habaib ini perlu segera diselesaikan. Dengan cara apa? Kedua pihak harus mau klarifikasi, saling memaafkan, dan menghilangkan sikap arogansi ataupun merasa paling benar sendiri. Masalah tidak akan selesai, tidak akan pernah ketemu benang merahnya jika kedua belah pihak, baik pihak Imaduddin maupun pihak Bahar Smith merasa paling benar. Ingatlah kalian berdua sama-sama tokoh terpandang, satu kali anda memunculkan konflik, maka konflik besar yang mungkin akan mengarah ke pertumpahan darah akan terjadi!.