Ganti Mentri, Ganti Program : Mungkinkah Kurikulum Merdeka di Pertahankan ?

Komponen manajemen pendidikan tidak hanya berdiri sendiri (tunggal), namun setiap elemen-elemen komponen tersebut saling mengisi dan melengkapi. Adapun elemen-elemen kompenen yang di maksud ialah kurikulum pembelajaran, peserta didik, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan (anggaran), hubungan sekolah dan masyarakat, dan budaya lingkungan sekolah.

Setiap komponen tersebut dapat terlaksana dengan baik, tentu membutuhkan uapaya dan usaha-usaha yang gigih serta tepat sasaran. Bilamana kita, membicarakan hal tersebut tidak lepas dari sistem. Separangkat aturan atau standar-standar yang telah di rumuskan secara kolektif. Baik itu dari tingkat pusat (pemerintah), maupun stake holder yang terkait, yang memiliki kepentingan atau kewenangan dalam mengambil setiap keputusan pemangku pendidikan.

Relevansi sistem sangat erat hubungannya dengan personalia (manusia), istilah tersebut dapat  di sederhanakan dengan istilah sumber daya manusia (SDM). Sistem adalah sebagai alat (perangkat), sedangkan personalia sebagai (mesin penggerak) untuk mencapai tujuan yang di kehendaki. Tentu saja, dua diksi tersebut ada perbedaan yang mendasar. Perbedaanya terletak pada Value (nilai) dasar yang terkandung. Alat (sistem) sebagai arah kiblat atau cara pandang di jadikan sebagai rujukan secara bersama, sedangkan personalia value yang mengisi pada setiap sub-sub sistem yang di yakini, pada gilirannya dapat menghantarkan pada proses dan hasil sempurna.

Kembali pada persoalan di atas, terkait dengan komponen manajemen pendidikan. Bagus atau tidak bagusnya tata kelola manajemen dalam ranah pendidikan, sangat di tentukan oleh sumber daya manusia itu sendiri. Secanggih apapun atau serapi apapun manajemen pendidikan, namun bila personalia tidak menjalankan dengan baik alhasil tidak akan berdampak positif bagi kemajuan pendidikan.

Menurut hemat penulis minimal ada tiga dasar (kompetensi) yang harus di miliki seseorang dalam ranah manajemen pendidikan di antaranya ialah :

  1. Kompetensi ilmu (pedagogik)
  2. Kompetensi integritas (Tanggung Jawab)
  3. Kompetensi Prilaku Baik (Akhlak)

Tiga kompetensi tersebut saling berkelindan antara satu dengan yang lainnya, ketika membicarakan personalia maka tiga dasar tersebut sejatinya menjadi pegangan dan prinsip dalam mengelola maupun mengorganisir setiap sub-sub manajemen pendidikan. Sistem manajamen baik bilamana personalia dapat melaksanakan dan mengerti dengan tujuan yang hendak di capai.

Salah satu upaya untuk membangun sebuah sistem manajemen pendidikan yang bagus adalah dengan memiliki karakter dasar (kompetensi) tersebut. Apa lagi ini berbicara dalam konteks dunia pendidikan, tidak hanya terbatas pada aspek kepintaran atau kecerdasan seseorang dalam mengeksekusi komponen manajemen pendidikan, melainkan suatu kesatuan yang melebur dan integrasi dalam setiap kompetensi yang telah di singgung di atas. Artinya sistem dapat di kelola dengan baik, dan output berkualitas.

Persoalan pendidikan yang kompleks dan dinamika saat ini, tentu tidak semulus yang kita bayangkan. Banyak permasalahan dan kendala yang kita hadapi. Mungkin saja dalam bentuk sistem (kebijakan) atau bisa jadi personalia (manusia) memungkinkan akan memunculkan “bibit-bibit” masalah dalam dunia pendidikan itu sendiri. Pertanyaan sederhananya, apatah kita berdiam diri saja atau tidak acuh dengan persoalan yang ada? Barangkali ada sebagian pihak tidak mengambil peran untuk menyelesaikan persoalan tersebut, namun di sisi lain ada sebagian yang lainya untuk masuk dan guna untuk memperbaiki masalah demi masalah untuk di carikan solusi terbaiknya. Hal senadapun di katakan oleh  Albert Einsten “Dunia tidak akan dihancurkan oleh mereka yang melakukan kejahatan, tetapi oleh mereka yang hanya menyaksikan tanpa berbuat apa-apa”.

Kita abaikan dulu siapa yang berhak atau orang penting dalam merumuskan dalam setiap masalah tersebut. Namun, pendidikan ini tidak hanya berjalan sendiri (tunggal), pada gilirannya membutuhkan setiap komponen baik itu pemerintah, guru, masyarkat ataupu stake holder terkait. Azas kebersamaan dan gotong royong dalam membersamai pendidikan, itu lah yang kita harapkan bahkan kita cita-citakan secara bersama. Penulis meminjam istilah Najwa Shihab “Tidaklah akan maju suatu negara apabila pendidikan rubuh atau tidak jalan sebagaimana mustinya”. Kalimat tersebut, memberikan makna bagi setiap insan bahwa dengan pendidikan suatu bangsa itu berdiri kokoh.

Kita kembali pada persoalan fundamental (pokok), dalam hal ini penulis menarik dua isu besar permasalahan (komplikasi) manajemen pendidikan saat ini. Bukan berarti komponen-komponen lainnya tidak ada masalah, akan tetapi dua terma  (Kurikulum dan Guru) ini selalu muncul dan ada dalam dunia pendidikan,bahkan selalu di perdebatkan di level nasional, daerah, bahkan sesama guru juga ikut mendiskuskusikan hal tersebut. Terlepas apatah setuju atau tidak setujunya itu soal lain. Menjadi tolak ukur kita ialah seberapa efisien dan efektinya.

“Tidaklah akan maju suatu negara apabila pendidikan rubuh atau tidak jalan sebagaimana mustinya” Najwah Shihab

Persoalam pertama kurikulum, kurikulum menjadi “buah bibir” di mana-mana. Tidak hanya di kalangan guru saja, ternyata sudah merembes di kalangan masyarakat, terutama para orang tua. Argumentasi dari pemerintah terkhusus Menteri Pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi dalam rangka merevisi dari K-13 menuju IKM (Implementasi Kurikulum Merdeka) sudah bagus. Dasar epistimologi dan filosofisnya jelas. Namun, perlu juga di perhatikan landasan Psikologis dan budaya sekolah. Semustinya harus melihat aspek demikian, perubahan yang terlalu cepat. Seakan-akan “di paksakan” untuk mengamini kurikulum baru.

Perjalanan kurikulum memang panjang dan selalu bongkar pasang, mulai dari awal Indonesia merdeka dan hingga saat ini dengan nomenklatur baru. Dengan kata lain ganti pemimpin dan ganti pula kebijakan. Tentu saja ini menurut hemat penulis, terlalu “ambisi” berlebihan ketika kurikulum itu di rubah sedemikian cepatnya. Padahal secara subtansi dari K-13 dan IKM tidak terlalu jauh perbedaannya, ketika dalam proses pelaksanaanya.  Hanya mengganti kulit saja, dan kontennya pun sama. Contoh, istilah K-13 Kompetensi Dasar, IKM menggunakan CP (Capaian Pembelajaran), K-13 menggunakan KKM Sedangkan IKM ada Istilah KKTP (Kreteria ketercapaian Tujuan Pembelajaran. Artinya Setiap elemen pada K-13 sama dengan IKM. Hanya saja ada kebaruan dari istilah saja.

Tentu ini, serangkaian hal tersebut hanya mengulang-ngulang hal sama dan pada pruduk yang sama. Alangkah “mubazir” dan membuang anggaran negara saja. Betapa banyak biaya yang di keluarkan pada praktek yang sama. Dulu ada istilah Sekolah Inti, sekarang menggunakan istilah sekolah penggerak, dulu ada guru inti, sekarang guru penggerak. Dan masih menggunakan pola yang sama.

Problem di atas perlu penyesuaian dan sosialisasi secara masif. Dalam rangka sosialisasi dan berlakunya tentu membutuhkan waktu yang cukup lama. Kenapa demikian, kita tarik dalam satu kasus pada aspek psikologis dan budaya sekolah setempat. Arah kebaruan IKM mengarah pada digitalisasi. Tidak semua guru pandai atau mahir dalam penggunaan  IT, terutama komputer atau laptop, hal ini berkaitan dengan guru-guru yang sudah berpuluhan tahun mengajar. Dan di tambah lagi dengan kondisi sekolah di daerah pedesaan maupun pegunungan. Hal ini berdampak pada akses internet. Problem mendasar, dan perlu di pertimbangkan secara matang dan komprehensif.

Keluhan dari kalangan guru tentu saja ada, karena muncul diksi-diksi baru. Di samping itu berbasis digital. Walaupun ada seminar atau loka karya tentang IKM, tidak sebagus atau semudah yang kita bayangkan hasilnya. Karena dalam pelaksanaanya berbeda, dalam teori yang di kembangkan bisa jadi itu persoalannya. Seabrek administrasi yang di penuhi oleh guru dan kejar tayang di awal semester. Mungkinkah itu mendapatkan hasil yang maksimal?

Namun pada setiap pelaksanaanya bisa di katakan “mengawang-awang” karena hal ini baru untuk di konsumsi oleh guru. Perlu sinergi anatara pemangku kebijakan pendidikan dengan yang mengeksekusi di bawah terutama guru. Keterpaduan dan keselerasan paradigma sangat di tonjolkan, kenapa demikian karena pendidikan tidak hanya selesai dan berhenti di pemerintah saja, akan perlu juga mendengarkan aspirasi di akar rumput.

Cara Memahami Islam Secara Bijak di Era Digital

Persoalan kedua Guru. Sorotan utama dalam hal ini ialah menyangkut kesejahteraan guru. Harus di perhatikan dan di perjuangakan. Istilah guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Ada kalanya istilah itu benar. Namun di sisi lain, profesi guru itu adalah pekerjaan yang mulia. Seyogyanya harus mengangkat harkat martabat guru di tempat mulia juga.

Saat ini sudah mulai mengarah kesana, terutama dalam pengangkatan guru honorer yang mengajar di sekolah negeri untuk di rubah statusnya menjadi ASN P3K. Itu hanya berlaku bagi guru di sekolah negeri saja. Lantas, bagaimana nasib para guru-guru yang di swasta terabaikan ? . Pemerintah dalam hal ini, selayaknya harus adil terutama pengakatan guru swasta dan idealnya dapat dicarikan solusi yang terbaik. Agar stigma menomor duakan guru swasta tidak berseliweran dimana-mana.

Adapun solusi dari permasalahan tersebut ialah sebagai berikut :

  • Kurikulum tidak perlu di gonta-ganti, ketika ganti pemimpin. Hal yang perlu ialah memperbaiki hal-hal substansi saja
  • Kurikulum seharusnya mampu menjawab persoalan kebutuahan pendidikan dalam 5, 10 dan bahkan bertahun tahun sesuai dengan perkembangan zaman
  • Kurikulum berlaku seumur hidup,
  • Pemerintah harus memperhatikan nasib para guru honorer negeri maupun swasta,
  • Memberikan pelatihan bagi guru berprestasi,
  • Memberikan reward (penghargaan) bagi guru berprestasi.