Marketplace guru, “Kebijakan macam apa lagi ini?” begitulah setidaknya ucapan yang keluar dari para guru pada saat Kemendikbud Ristek Nadiem Makarim baru menggagas konsep marketplace guru ini. Tidak jarang juga para guru mengeluhkan dan membandingkan antara nasibnya saat ini dengan nasib yang akan menimpanya nanti di saat marketplace guru ini benar-benar diterapkan di dalam pendidikan Indonesia.
Nasib guru yang sejak dahulu hingga saat ini belum menemukan titik terang kesejahteraan, terlebih bagi guru-guru honorer yang notabene mendapatkan gaji lebih rendah dari kuli bangunan. Hal inilah yang membuat para guru cemas akan nasibnya nanti. Mereka meragukan apakah konsep marketplace guru ini benar-benar dapat mendongkrak kesejahteraannya, terlebih dalam konsep itu hanya terdapat dua kategori guru yang bisa masuk ke dalam marketplace guru, yakni guru PI dan guru-guru tamatan PPG Prajabatan. Benarkah ia dapat mensejahterakan atau justru malah semakin merendahkan profesi guru?
Reputasi pendidikan Indonesia yang selalu mendapat nilai yang kurang memuaskan mungkin menjadi salah satu alasan mengapa Kemendikbud Ristek membuat kebijakan-kebijakan yang menurut hemat pribadi cukup menggelikan. Mengapa demikian? Bayangkan! Kurikulum merdeka belajar digagas untuk menjawab tantangan pendidikan yang sejak dahulu selalu menekan dan memaksakan siswa untuk mempelajari materi yang mungkin bertentangan dengan bakat alamiah siswa, ternyata juga tidak kalah usangnya dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Konsep PPPK digagas untuk menjawab tantangan guru honorer yang jauh dari kata sejahtera, namun hingga kini masih banyak guru yang sudah mengantongi ijazah S1 PPPK belum juga kunjung berpihak padanya.
Kemudian, kini muncul gagasan marketplace guru dimana nantinya para guru yang berkategori PI dan guru-guru PPG Prajabatan ditempatkan di dalamnya dan menunggu panggilan dari calon sekolah yang akan membeli jasanya. Sementara itu kemana guru-guru honorer akan ditempatkan? sambil menunggu kapan ia akan di checkout oleh pihak sekolah mungkin mereka akan main judi online atau melakukan PINJOL illegal sebagai kerja sampingan dan melepas penat. Benarkah demikian? Nyatanya beredar karikatur yang menjelaskan bahwa profesi guru menempati urutan teratas dalam kasus PINJOL ilegal.
Pada awalnya saya cukup respek dengan konsep marketplace guru ini, saya merasa bahwa akan ada harapan tentang kesejahteraan guru dan mutu pendidikan Indonesia. Guru dalam pendidikan Indonesia yang jumlahnya semakin membludak ini menjadi salah satu alasan mengapa gaji guru sangat-sangat rendah, terlebih di dalam pendidikan Indonesia siapapun dan apapun profesinya dapat dengan mudah menjadi guru, pilot bisa menjadi guru, tukang sapu, tukang ojek, tukang gorengan semuanya bisa menjadi guru. Asalkan mereka bisa membuat RPP, PROTA, dan PROMES maka ia layak menjadi guru, meskipun standar kompetensi keguruan tidak terpenuhi.
Hal itulah yang mungkin menjadi salah satu alasan mengapa konsep marketplace guru ini digagas. Dengan memperketat seleksi keguruan dan dengan mempersempit kategori guru yang dapat masuk dalam marketplace mungkin akan benar-benar dapat mempermudah pihak sekolah dalam memilih guru yang benar-benar memiliki standar kompetensi guru. Namun, dalam hal ini bukankah akan membuat semakin banyak guru yang akan kehilangan pekerjaanya? Bukankah hal ini akan membuat mahasiswa-mahasiswa keguruan merasa terbohongi dengan studi yang telah mereka ambil? Dan menurunkan minat mereka untuk mendedikasikan hidupnya sebagai pedagog? Yakin! Keadaan ini tidak akan membuat chaos dalam pendidikan kita?
Seharusnya, pihak Kemendikbud Ristek mau belajar pada Singapura yang selalu mendapat juara PISA bertahun-tahun. Singapura merekrut tamatan-tamatan terbaik sekolah menengah. Tidak semua kampus di sana boleh membuka sekolah keguruan. Singapura membatasi hanya satu kampus saja yang diizinkan menyelenggarakan pendidikan keguruan, mutunya begitu ketat dan terkontrol, sehingga dalam hal ini mereka benar-benar membuat batasan bahwa untuk menjadi seorang guru harus benar-benar cerdas. Finlandia pun sama.
Tentu hal ini berbeda dengan kampus-kampus di Indonesia, semua bisa mengadakan sekolah keguruan. Bahkan, kampus-kampus yang baru mulai berdiri pun bisa dengan mudah mengadakan sekolah keguruan. Alhasil, membludak lah lulusan-lulusan keguruan dengan segala keterbatasannya. Lalu mengajar di sekolah-sekolah yang tidak begitu peduli dengan standar kompetensi guru. Dengan gaji yang terbilang rendah, mereka tetap mengajar, karena mereka benar-benar menyadari akan nasibnya jika tidak berdamai dengan keadaan “toh guru adalah profesi mulia”, meskipun terkadang mengeluh dan menuntut akan kesejahteraannya.
Sekali lagi perlu ditekankan, pembuatan aplikasi marketplace guru tentu membutuhkan dana miliaran, kira-kira apakah tidak sia-sia? Terlebih hanya sebagian guru saja yang bisa merasakannya atau mungkin pihak kepala sekolah akan membeli jasa guru dari kalangan keluarga, saudara, teman dekat, dan lain sebagainya. Bukankah hal ini sama saja simulasi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)? Mengapa tidak membuat saja aplikasi semacam Linkedin? Dimana semua orang bisa masuk di dalamnya, semua guru baik ASN maupun non ASN bisa masuk di dalamnya dan mempromosikan keahliannya masing-masing.