Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) atau yang juga dikenal sebagai Omnibus Law telah menjadi topik perdebatan yang hangat dan kontroversial di Indonesia sejak disahkan pada 5 Oktober 2020. Omnibus Law ini merupakan undang-undang yang menggabungkan berbagai peraturan dalam satu payung hukum dengan tujuan untuk memperbaiki iklim investasi dan menciptakan lapangan kerja baru di Indonesia.
Namun, pengesahan UU Cipta Kerja telah memicu protes dan penolakan dari berbagai pihak, terutama terkait dampaknya terhadap hak asasi manusia (HAM) dan kesejahteraan buruh.
Perdebatan mengenai UU Cipta Kerja ini sebenarnya telah berlangsung sejak awal proses pembentukannya. Pemerintah dan pendukung UU Cipta Kerja menyatakan bahwa undang-undang ini diperlukan untuk menyederhanakan regulasi yang dianggap tumpang tindih dan menghambat investasi, sehingga dapat menarik lebih banyak investor dan menciptakan lapangan kerja baru.
Mereka berargumen bahwa dengan mempermudah proses investasi, ekonomi Indonesia akan tumbuh dan ini pada akhirnya akan membawa manfaat bagi seluruh masyarakat, termasuk para pekerja.
Di sisi lain, para penentang UU Cipta Kerja memandang bahwa undang-undang ini justru berpotensi melanggar hak-hak buruh dan mengancam kesejahteraan mereka. Mereka khawatir bahwa dengan disahkannya UU Cipta Kerja, posisi buruh akan semakin tersubordinasi dan hak-hak mereka akan tereduksi. Selain itu, ada juga kekhawatiran bahwa UU Cipta Kerja akan membuka pintu bagi eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran dan mengancam hak-hak masyarakat adat dan petani.
Salah satu aspek yang menjadi perhatian utama adalah dampak UU Cipta Kerja terhadap ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang selama ini menjadi payung hukum bagi perlindungan hak-hak buruh.
UU Cipta Kerja mengubah atau mencabut beberapa pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang berpotensi melanggar hak asasi manusia, seperti hak atas upah minimum yang adil, status pekerjaan, batasan jam kerja, waktu istirahat dan libur, serta konsultasi tripartit antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja.
Selain itu, UU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan terkait pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan. Dengan UU ini, perusahaan dapat menikmati HGU langsung selama 90 tahun, padahal sebelumnya hanya 25 atau 35 tahun dengan perpanjangan 25 tahun jika memenuhi syarat. Hal ini dapat memperdalam konflik agraria dan mengancam hak-hak masyarakat adat, petani, dan nelayan atas tanah dan sumber daya alam yang mereka miliki secara turun-temurun.
Perdebatan mengenai UU Cipta Kerja juga menyoroti proses pembentukannya yang dinilai tidak partisipatif dan mengabaikan suara buruh serta masyarakat luas. Pengesahan UU ini menimbulkan protes keras dari berbagai pihak, termasuk serikat buruh, organisasi masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat, dan aktivis HAM. Bahkan, beberapa lembaga mengeluarkan Mosi Tidak Percaya kepada Pemerintah Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI atas pengesahan UU Cipta Kerja yang dianggap tidak aspiratif dan berpotensi melanggar HAM.
Tak hanya itu, penanganan unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja juga menuai kritik dari Amnesty International. Organisasi ini mencatat adanya pelanggaran HAM dalam penanganan unjuk rasa, seperti tindakan kekerasan terhadap jurnalis dan paramedis yang menjalankan tugas, serta intimidasi terhadap buruh yang berjuang untuk hak-hak mereka. Amnesty International bahkan menegaskan bahwa pengesahan UU Cipta Kerja menunjukkan kurangnya komitmen Pemerintah Indonesia dan anggota DPR RI untuk menegakkan HAM.
Meskipun pemerintah mengklaim telah memperbaiki berbagai ketentuan dan substansi yang menghambat investasi, perdebatan antara kelompok pengusaha dan buruh masih terus berlanjut. Upaya peninjauan kembali UU Cipta Kerja menjadi tuntutan utama dari pihak-pihak yang menolak undang-undang ini. Mereka mendesak agar pemerintah melakukan evaluasi secara komprehensif dan melibatkan partisipasi publik secara luas untuk memastikan bahwa UU Cipta Kerja tidak melanggar HAM dan menjamin kesejahteraan buruh serta seluruh masyarakat Indonesia.
Kesejahteraan Buruh
Penelitian yang dilakukan oleh berbagai lembaga dan organisasi buruh menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja belum berhasil meningkatkan kesejahteraan buruh secara signifikan. Mayoritas pengguna media sosial dan buruh yang menjadi responden dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa kondisi buruh masih berada dalam posisi subordinat dan belum mencapai tingkat kesejahteraan yang diharapkan.
Beberapa aspek yang menjadi ketidakpuasan buruh terkait UU Cipta Kerja antara lain sistem pengupahan yang timpang antardaerah, potensi penurunan nilai pesangon bagi buruh yang di-PHK, ketidakjelasan jaminan cuti panjang, pengurangan jam istirahat mingguan, dan kurangnya batasan waktu yang jelas terkait perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Hal-hal ini dianggap dapat merugikan hak-hak dan kesejahteraan buruh.
Amnesty International, organisasi nirlaba internasional yang memperjuangkan HAM, juga mencatat adanya pelanggaran HAM dalam penanganan unjuk rasa buruh yang menolak UU Cipta Kerja. Terjadi tindakan kekerasan terhadap jurnalis dan paramedis yang sedang menjalankan tugas meliput dan membantu aksi unjuk rasa, serta intimidasi terhadap buruh yang berjuang untuk mempertahankan hak-hak mereka.
Organisasi buruh dan aktivis HAM menyerukan agar pemerintah segera mengevaluasi dampak UU Cipta Kerja terhadap kesejahteraan buruh dan melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan. Mereka mendesak agar hak-hak dasar buruh seperti upah layak, waktu kerja yang manusiawi, jaminan keselamatan kerja, dan perlindungan dari pemutusan hubungan kerja sewenang-wenang tetap dijamin dan bahkan ditingkatkan dalam regulasi ketenagakerjaan.
Perubahan Substansi UU Ketenagakerjaan
UU Cipta Kerja mengubah dan mencabut beberapa pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang selama ini menjadi payung hukum bagi perlindungan hak-hak buruh. Perubahan ini dinilai berpotensi melanggar HAM dan merugikan kepentingan buruh.
Salah satu perubahan yang mengundang kontroversi adalah terkait upah minimum.
Dalam UU Cipta Kerja, penentuan upah minimum diserahkan kepada pemerintah pusat dan daerah, serta melibatkan unsur pengusaha dan pekerja. Namun, ada kekhawatiran bahwa proses ini dapat diintervensi oleh kepentingan tertentu sehingga merugikan hak buruh atas upah minimum yang adil.
UU Cipta Kerja juga mengubah beberapa ketentuan terkait waktu kerja dan waktu istirahat. Misalnya, terdapat pasal yang memungkinkan pengurangan jam istirahat mingguan dan penghapusan batas maksimal kerja lembur. Hal ini dianggap dapat membuka peluang eksploitasi tenaga kerja dan melanggar hak buruh atas waktu istirahat yang cukup.
Perubahan lain yang juga mengundang kritik adalah terkait status pekerjaan dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). UU Cipta Kerja dinilai membuka peluang bagi perusahaan untuk mempekerjakan buruh dengan status kontrak dalam jangka waktu yang lebih lama, tanpa ada kepastian akan diangkat menjadi pekerja tetap.
UU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan terkait pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan. Dengan UU ini, perusahaan dapat menikmati HGU langsung selama 90 tahun, padahal sebelumnya hanya 25 atau 35 tahun dengan perpanjangan 25 tahun jika memenuhi syarat. Hal ini dapat memperdalam konflik agraria dan mengancam hak-hak masyarakat adat, petani, dan nelayan atas tanah dan sumber daya alam yang mereka miliki secara turun-temurun.
Kurangnya Partisipasi Publik
Proses pembentukan UU Cipta Kerja dinilai tidak partisipatif dan mengabaikan suara buruh serta masyarakat luas. Pemerintah dan DPR dianggap tidak melibatkan partisipasi publik secara memadai dalam proses penyusunan undang-undang ini.
Pengesahan UU Cipta Kerja menimbulkan protes keras dari berbagai pihak, termasuk serikat buruh, organisasi masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat, dan aktivis HAM. Mereka menilai bahwa proses pembentukan undang-undang ini tidak transparan dan tidak mengakomodasi aspirasi serta kepentingan buruh dan masyarakat luas.
Beberapa lembaga bahkan mengeluarkan Mosi Tidak Percaya kepada Pemerintah Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI atas pengesahan UU Cipta Kerja yang dianggap tidak aspiratif dan berpotensi melanggar HAM. Mereka mendesak agar UU Cipta Kerja ditinjau kembali dan proses pembentukannya melibatkan partisipasi publik secara luas.
Kurangnya partisipasi publik dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja juga dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan good governance. Pemerintah dan DPR seharusnya memastikan keterlibatan semua pihak yang terkena dampak, sehingga undang-undang yang disahkan benar-benar mencerminkan aspirasi dan kepentingan seluruh masyarakat.
Kewajiban Internasional
Amnesty International, organisasi nirlaba internasional yang memperjuangkan HAM, menegaskan bahwa pengesahan UU Cipta Kerja menunjukkan kurangnya komitmen Pemerintah Indonesia dan anggota DPR RI untuk menegakkan HAM.
Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional, seperti Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya serta Konvensi ILO (Organisasi Perburuhan Internasional), memiliki kewajiban untuk menjamin hak-hak buruh dan masyarakat yang terkena dampak dari setiap kebijakan atau undang-undang yang diambil.
Amnesty International menyerukan agar Pemerintah Indonesia dan DPR melakukan peninjauan kembali terhadap UU Cipta Kerja dan memastikan bahwa undang-undang tersebut sejalan dengan kewajiban Indonesia dalam menegakkan HAM, khususnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Organisasi ini juga mengkritik penanganan unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja yang dinilai
Organisasi ini juga mengkritik penanganan unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja yang dinilai melanggar hak atas kebebasan berkumpul dan berpendapat. Tindakan kekerasan terhadap jurnalis, paramedis, dan intimidasi terhadap buruh yang berjuang untuk hak-hak mereka seharusnya tidak terjadi dalam sebuah negara yang menjunjung tinggi HAM.
Amnesty International menekankan bahwa Pemerintah Indonesia harus menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak buruh sesuai dengan kewajiban internasional yang diembannya. Organisasi ini mendesak agar pemerintah mengambil langkah-langkah konkret untuk memastikan UU Cipta Kerja tidak bertentangan dengan standar HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia.
Selain Amnesty International, beberapa badan dan lembaga HAM internasional lainnya juga menyuarakan keprihatinan mereka terkait potensi pelanggaran HAM dalam UU Cipta Kerja. Misalnya, International Labour Organization (ILO) menyerukan agar Indonesia memastikan kepatuhan terhadap konvensi-konvensi ILO yang telah diratifikasi, terutama yang terkait dengan hak-hak pekerja.
Organisasi non-pemerintah internasional lainnya, seperti Human Rights Watch dan International Trade Union Confederation (ITUC), juga mendesak Pemerintah untuk melakukan konsultasi yang lebih luas dengan serikat buruh dan masyarakat sipil dalam menyusun kebijakan ketenagakerjaan dan ekonomi yang adil dan berkelanjutan.
Tekanan dari komunitas internasional ini semakin menguat mengingat Indonesia juga tengah menjabat sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk periode 2019-2020. Sebagai negara dengan pengaruh regional yang signifikan, Indonesia diharapkan dapat menjadi teladan dalam menegakkan HAM dan prinsip-prinsip demokrasi serta good governance.
Dengan berbagai kritik dan desakan dari lembaga-lembaga HAM internasional tersebut, Pemerintah Indonesia diharapkan dapat merespons dengan bijak dan segera mengambil langkah-langkah perbaikan agar UU Cipta Kerja tidak bertentangan dengan kewajiban internasional Indonesia dalam menegakkan HAM.
Meskipun pemerintah mengklaim telah memperbaiki berbagai ketentuan dan substansi yang menghambat investasi, perdebatan antara kelompok pengusaha dan buruh masih berlanjut. UU Cipta Kerja tetap menjadi isu yang kompleks dan kontroversial di Indonesia.
Pemerintah perlu melakukan peninjauan kembali dan melibatkan partisipasi publik secara luas untuk memastikan bahwa undang-undang ini tidak melanggar HAM dan menjamin kesejahteraan buruh serta seluruh masyarakat.
Daftar Pustaka
Abas, M. (2022). Dampak hilangnya upah minimum sektoral bagi pekerja pasca berlakunya peraturan pemerintah (pp) no. 36 tahun 2021 tentang pengupahan juncto undang-undang no. 11 tahun 2020 tentang cipta kerja (omnibus law). Prosiding Konferensi Nasional Penelitian Dan Pengabdian Universitas Buana Perjuangan Karawang, 2(1), 411-427.
Ahadi, L. M. A. (2022). Efektivitas Hukum Dalam Perspektif Filsafat Hukum: Relasi Urgensi Sosialisasi Terhadap Eksistensi Produk Hukum. Jurnal Usm Law Review, 5(1), 110-127.
Al Hafiz, S. Y. (2023). Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Perundang-Undangan Dalam Koherensi Teori Pembentukan Undang-Undang. Deposisi: Jurnal Publikasi Ilmu Hukum, 1(4), 140-151.
Aprilianto, D., & Wijayanti, A. (2021). Hak Pekerja Yang Di Phk Karena Efisiensi Pada Masa Pandemi Covid Dan Pasca Undang-Undang Cipta Kerja. Jurnal Hukum DE’RECHTSSTAAT, 7(2), 147-161.
Goldy, E., Siwu, S. C., & Amir, N. (2023). TINJUAN YURIDIS PENERAPAN LARANGAN BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT MASYARAKAT. CALYPTRA, 11(2).
Jahari, A., & Artita, R. (2023). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA AKIBAT PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA TANPA PESANGON BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 DAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA. Case Law: Journal of Law, 4(2), 79-100.
Penulis :
Kuswan Hadji, S.H., M.H., Aan Anisah, Ayu Safitri, Bintang Afifah Nailah Surya, Kurniawati Dwi Desriana, Nadyya Dwi Wulandari, Nikita Sheila Pasha, Rajwa Al Imtiyaz