Membedah Arti Dari Konsep Gurunya Manusia

Pendidikan tidak bisa dilepaskan dari perannya seorang guru, guru memainkan peran penting dalam proses pembelajaran. Setiap aktifitas dalam pembelajaran guru memiliki tugas dan tanggung jawabnnya sebagai pengemban amanah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Disatu sisi patut kita apresiasi segala macam bentuk keberhasilan para guru-guru banyak melahirkan para siswa yang memiliki keahlian dibidang tertentu, ahli atau pakar dalam lintas disiplin ilmu. Bahkan tidak asing bagi kita ketika mendengarkan kalimat “ guru adalah pahlwan tanpa tanda jasa”, dengan banyak mencetak para siswa baik itu dimulai dari bangku SD sampai tingkat lanjut, dan mereka bekerja dengan penuh dedikasi dan keikhlasan yang tinggi untuk mencerdaskan para anak-anak didiknya.

Gurunya manusia yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tenaga pendidik bekerja di lembaga formal di tingkat SD, SLTP, SLTA. Dalam rangka mentrasfer ilmu pengetahuan pada siswa, mengembangkan potensi yang dimiliki siswa, serta penguatan-penguatan karakter. Ada penekannya terutama dalam hal memperhatikan dan memandang setiap siswa sebagai makhluk belajar. Artinya setiap siswa memiliki kelebihan-kelebihan yang harus ditumbuh-kembangkan. Memandang siswa dari sudut pandang yang lebih luas, dan tidak terpaku dalam satu sisi pengamatan saja.

Kualitas guru, jika guru memiliki kompetensi mumpuni dan kualitas di atas rata-rata selayaknya pula akan mencerminkan kualitas pendidikan yang baik, jika mencermati hal tersebut boleh dikatakan predikat itu patut untuk merubah kaulitas pendidikan. Yang selalu menganggap sebagai bentuk rasa tanggung jawab dalam mengajar dan menyakini bahwa guru sebagai profesi mulia dibandingkan dengan profesi-profesi yang lainnya. Sebagai batu uji bagi guru untuk selalu “belajar” dan sebagai bahan evalusi untuk memperbaiki kualitas pendidikan.

Salah satu hal yang mendasar bagi guru harus memperhatikan keadaan siswa dan menganggapnya sebagai “manusia belajar”, karena pada hakikatnya siswa adalah makhluk pembelajar, selalu untuk belajar untuk mengetahui sesuatu, apapun yang ia lakukan dan aktifitas apa saja yang mereka peroleh tentu saja itu berangkat dari pengalaman. Proses itu akan ia cerna, diamati, dan berpikir yang akan melahirkan pengetahuan. Guru meletakkan siswa sebagai “manusia belajar” bukan sebagai siswa yang tidak tahu apa-apa atau tidak mengerti dalam hal apapun.

Didalam bukunya “Gurunya Manusia” karya  Munif Chatib memberikan penjelasan yang gamblang bahwa siswa tidak ada yang bodoh, dan tidak ada guru yang tidak pandai dalam menyusun strategi belajar. Dengan hal itu gurunya manusia sepatutnya untuk memahami kondisi siswa itu sendiri, dan “jangan” sempat mengeluarkan kalimat-kalimat yang negatif atau melabelkan pada siswa “bodoh” dan seterusnya. Disadari ataupun tidak tentu akan berakibat fatal ketika itu terlontarkan dengan terang-terangan kepada siswa tersebut, untaian kalimat jelek tersebut akan lama ingat dalam memorinya dan bisa membelenggu cara pikirnya dalam menemukan atau mengungkapkan sesuatu kepada orang lain.

Guru adalah sebuah profesi. Profesionalitas guru tentunya sangat terkait dengan unsur manajemen kerja guru. Bagaimana guru membuat perencanaan, kemudian mengaplikasikannya dengan mengajar dikelas, lalu harus ada evaluasi tentang kualitas pembelajaran itu hari demi hari. Jika kita punya anggapan bahwa tidak ada siswa yang bodoh, kita juga harus percaya bahwa tidak ada guru yang tidak bisa mengajar. Masalah yang ada hanyalah kesulitan guru menuju tangga professional.

Buku “Gurunya Manusia” yang ditulis oleh Munif Chatib akan menghantarkan para pembaca untuk melihat kualitas pendidikan dan dinamika-dinamikanya yang ada didalamnya, sentuhan-sentuhan dengan bahasa yang lezat dan dikemas dengan sesederhana mungkin untuk dapat dicerna. Bahasan atau cakupan pembahasannya meliputi, betapa pentingnnya guru profesional, bentuk-bentuk manajemen sekolah yang ia polakan menjadi tiga ranah terutama komitmen, cara dan paradigma, kemudian membicarakan apersepsi, dan multiple intelegensi (kecerdasan ganda) beserta strategi-strateginya. Dengan berdasarkan hal tersebut, pola atau data yang disuguhkan didalam buku sesuai dengan keadaan dilapangan dan terjadi proses keterlibatan, para guru-guru yang mengalami kesulitan dalam mengajar, dan berbagai macam keluhan yang dirasakan para guru disana terjadi dialog yang edukatif dan membangun paradigma yang selama ini terjadi dalam ranah belajar. Uraian-uraian yang disajikan berupa pengalaman dan realita sesungguhnya.

Luasnya kajian atau materi yang terdapat di dalam buku tersebut, penulis membatasi tulisan ini pada aspek menjadi “Gurunya Manusia”. Guru menganggap setiap anak juara, memahami kemampuan anak dalam artian luas, gurunya manusia adalah fasilitator. Berikut penulis deskripsikan ketiga komponen tersebut :

Dihadapan Gurunya Manusia, setiap Anak adalah Juara

Setiap gurunya manusia wajib punya pandangan atau pola pikir yang menganggap setiap anak adalah juara atau setiap anak punya potensi kebaikan, apapun kondisi yang dialami anak.

“ Tapi pak Munif, kenyataannya memang muridku bodoh, itu kenyataan yang tidak bisa diubah, ujar seorang guru yang berusaha mempertahankan paradigma tentang siswa bodoh”

“ Kalimat dan pernyataan anda barusan dapat menjadi penghalang pertama anda munculkan sendiri untuk memasuki dunia siswa anda anggap bodoh itu. Kita sering terjebak dengan pikiran awal yang negatif. Kita sering membangun tembok tebal yang menghalangi interaksi dengan siswa. Penghalang itu bukan dibuat oleh siswa, tetapi oleh kita sebagai guru. Jawab saya, berusaha menjelaskan kepadanya dengan gamblang”.

Memahami kemampuan anak dalam Arti luas

Kemampuan seseorang adalah bahan bakar untuk kesuksesannya. Masalah yang sering terjadi, sebagai tenaga pendidik adalah kita sering terjebak memahami kemampuan dalam arti yang sempit. Benjamin S. Bloom membagi kemampuan seseorang.

  • Kemampuan kognitif (menghasilkan keterampilan berfikir)
  • Kemampuan psikomotorik (menghasilkan kemampuan berkarya)
  • Kemampuan afektif ( menghasilkan kemampuan bersikap)

Kita sebagai guru dan orang tua sering terjebak mengukur kemampuan anak kita hanya dalam satu ranah, yaitu ranah kemampuan kognitif. Kenyataanya, kemampuan kognitif anak di sekolah menjadi tereduksi menjadi kemampuan anak saat mengerjakan soal atau tes.

 “Anakku peringkat satu dikelas, semua nilai yang diperolehnya 9 dan 10”

“Anakku itu pandai, tes matematika selalu mendapat nilai 10”

Disamping itu, kita harus jujur mengakui karena hanya kemampuan kognitiflah yang dapat didokumentasikan menjadi rapor sehingga guru dan orang tua selalu terjebak memberikan label kepada anaknnya, pandai atau tidaknnya, hanya dengan menggunakan lembaran laporan hasil belajar yang bersifat kognitif (pengetahuan).

Kemampuan yang termasuk kedalam bentuk karya siswa dapat dilihat dari kemampuan anak ketika melakukan presentasi, menulis, atau membaca puisi. Selain itu juga kemampuan anak dalam olahraga fisik, pandai bermain bola atau bulu tangkis. Kerapian anak dalam menyelesaikan proyek atau pekerjaan keterampilan lain, juga termasuk didalamnya, dan berbagai kreatifitas lain yang dihasilkan oleh anak-anak kita. Kemampuan atau keahlian pada aktifitas psikomotorik merupakan kemampuan yang belum terekam menjadi nilai rapor.

Belum lagi tentang kemampuan afektif, sedikitpun, kemampuan afektif ini tidak pernah terekam menjadi sebuah kompetensi. Apabila seorang anak berprilaku baik, menghargai guru dalam mengajar, rajin mengikuti pelajaran, tetapi nilainya ujiannya mendapat nilai 5 dan merah, pasti kita menyebut anak itu tidak pandai. Hilang sudah kemampuan afektif yang dimiliki oleh siswa tersebut.

Gurunya manusia seharusnya mampu memandang kompetensi para siswa lebih luas, berdasarkan tiga kemampuan kognitif, psikomotorik, dan afektif secara proporsional (tepat dan terukur).

Gurunya manusia adalah sang fasilitator

Seorang fasilitator harus yakin bahwa sebelumnya para siswa punya bahan-bahan atau pengalaman-pengalaman belajar.  Tugas fasilatator itu meminta siswa untuk membangun pengalaman-pengalaman tersebut. Fasilatator itu ibarat teko yang penuh air, yang menyirami tanaman, bukan menyirami sebuah cangkir. Siswa diibaratkan tanaman sehingga jika diberi air, akan tumbuh dan berkembang. Sedangkan cangkir adalah benda mati. Siswa bukan benda mati karena mereka hidup dan punya kehidupan.

Jika guru mengajar, belum tentu siswa belajar, bisa saja siswa tersebut mengantuk bahkan tertidur, bagaikan ada dua jalan tol berebeda antara guru mengajar dan siswa yang belajar. Seorang guru pernah protes kepada saya.

“Pak Munif, jika kita mengajar dengan metode ceramah, pastilah siswa akan mendapatkan ilmu dan pengetahuan dari guru, kan mereka tidak tuli”

“Sebuah logam, yang punya dua sisi. Jika guru hanya mengajar dengan metode ceramah, siswa tersebut hanya mendapat satu sisi dari uang logam tersebut, yaitu tahu apa. Namun jika siswa yang belajar dan siswa yang aktif siswa tersebut akan mendapatkan dua sisi logam uang tersebut yaitu tahu apa dan bisa apa”.

Jadi, jangan lagi guru mengajar dengan metode ceramah terus menerus, seperti teko yang penuh air lalu menuangkan kedalam cangkir hingga tumpah. Namun, jadikanlah siswa itu tanaman yang dapat menyerap air dan mengembangkannya untuk tumbuh.