Wira’I merupakan salah satu sikap dimana seorang hamba berusaha untuk menjauhkan dirinya di perkara-perkara syubhat baik yang berupa pakaian, makanan, tempat, dan lain sebagainya, syubhat sendiri yakni suatu yang belum jelas status hukum halal haramnya. Contoh ketika menemukan selembar uang di jalan, maka itu termasuk syubhat dan jika dihindari, maka perilaku tersebut dapat dikatakan wira’i.
Rasulullah saw menjelaskan tentang pentingnya menghiasi kehidupan sehari-hari dengan berlaku wira’I,seperti sabda beliau:
الحلال بيّن والحرام بيّن, وبينهما أمور مشتبهات لا يعلمها من الناس فمن التقى الشبهات فقد استبرأ لعرضه ودينه, ومن وقع في الشبهات واقع الحرام, كالراعي حول الحمى يوشك أن يقع فيه
Artinya:” Barang yang haram dan yang halal sudah sangat jelas, tetapi di antara keduanya ada barang-barang yang menyerupai ( samar-samar ), tidak diperhatikan oleh umumnya manusia, maka orang yang memelihara darinya dari syubhat, berarti bersih agama dan kehormatannya. Sedangkan yang terjerumus ke dalam syubhat, berarti terjerumus pula dalam haram, seperti orang yang menggembala domba di sekeliling tempat larangan, mungkin lama-lama ia akan melanggar larangan tersebut”.
Melalui hadis di atas dapat diketahui, bahwa orang yang wira’i atau orang yang menjaga dari perkara yang syubhat sama halnya ia telah berusaha menjauhi hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasulnya. Terdapat banyak sekali kitab-kitab yang membahas tentang pengertian wira’I beserta tanda-tanda orang yang telah melakukan wira’I, salah satunya yakni kitab ta’limul muta’alim.
Dibalik Kekuasaan Gus Dur
Kitab Ta’limul Muta’alim yang dikarang oleh Syaikh Az-Zarnuji merupakan salah satu kitab fenomenal yang wajib sekali dikaji di dalam pendidikan-pendidikan pesantren di Indonesia. Terdapat hal yang menarik untuk dibahas dalam kitab ini ketika sang mushonnif (pengarang kitab) menjelaskan tentang hal-hal yang masuk dalam ranah wira’I, seperti yang terdapat dalam Pasal Wira’I fii Halli Ta’alumi: 53
ومن الوراع أن يتحرز عن الشبع وكثرة النوم وكثرة الكلام فيما لا ينفع وأن يتحرز عن أكل طعام السوق
Artinya:” Perilaku yang termasuk ke dalam wira’I adalah menghindari makan terlalu kenyang, menghindari banyak tidur, menghindari banyak bicara yang tidak bermanfaat, dan menjaga dari mengonsumsi makanan pasar”.
Pada maqalah di atas terdapat kata أن يتحرز عن أكل طعام السوق yang dapat dimengerti bahwa menghindari mengonsumsi makanan-makanan pasar juga termasuk ke dalam perilaku wira’I, sampai sini yang menjadi pertanyaan adalah. Apa yang menyebabkan makanan pasar harus dihindari dan apakah makanan pasar itu syubhat?
Tetap dalam kitab yang sama, dijelaskan mengapa menghindari mengonsumsi makanan pasar tergolong dalam perilaku wira’I adalah disebabkan karena di pasar tidak bisa menjamin apakah ketika kita membeli ayam, ayam tersebut benar-benar disembelih dengan mengucapkan asma Allah. Selain itu juga dijelaskan ketika kita mengkonsumsi makanan pasar ditakutkan terdapat orang-orang fakir yang lapar sehingga kita secara tidak sadar telah membuat mereka mengharap agar dikasih juga makanan yang tengah kita makan.
Melalui pengertian di atas dapat dimengerti, bahwa yang menjadi tolak ukur bukanlah barang atau makanan pasar yang dikonsumsi, melainkan apakah makanan tersebut jika itu daging benar-benar disembelih dengan menyebut nama Allah? dan apakah ketika kita mengkonsumsi makanan pasar benar-benar tidak memberi dampak negatif terhadap orang-orang disekitar kita? Artinya segala apapun makanan itu meskipun bukan dari pasar, maka akan tergolong dalam syubhat jika dapat memberi dampak negatif terhadap kita dan orang-orang di sekitar kita.
Oleh sebab itu mengapa banyak sekali ulama-ulama yang menganjurkan untuk wira’I, bahkan sampai ada ulama yang saking wira’I nya ketika bepergian beliau selalu membawa bekal dari rumah dan enggan untuk membeli segala bentuk makanan di jalan.